Minggu, 29 Mei 2011

Berharap Kejayaan Bulutangkis Indonesia Kembali

Kandas sudah harapan tim bulutangkis Indonesia untuk berlaga di partai final kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman, setelah semalam ditekuk Denmark di semifinal dengan skor 1-3. Kegagalan ini menambah panjang daftar kegagalan bulutangkis Indonesia untuk mempersembahkan hasil terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Ada hal yang patut dicermati dalam kejuaraan yang digelar di Qingdao, China ini, jika kita simak seluruh pertandingan yang terjadi dari babak penyisihan grup sampai semifinal, bisa dikatakan peta kekuatan bulutangkis dunia semakin merata. Bahkan negara-negara yang sebelumnya ‘asing’ dalam percaturan bulutangkis dunia, mulai menunjukkan persaingan. Terbukti ketika di penyisihan grup A yang mempertemukan China vs Jerman, tuan rumah kehilangan poin kala Juliane Schenk mampu menundukkan pemain nomor 1 dunia, Wang Shixian dua set langsung 21-19, 21-16 di negaranya sendiri. Demikian halnya Rusia yang mampu mencuri poin dari Indonesia. Dalam peringkat 10 besar dunia pun terdaftar nama-nama pemain dari negara-negara yang sebelumnya tidak punya nama di bulutangkis, seperti Nguyen Tien Minh dari Vietnam (peringkat 7), dan Boonsak Ponsana dari Thailand (peringkat 6) di tunggal putra. Sementara di nomor tunggal putri ada nama Saina Nehwal asal India (peringkat 4), yang juga sukses memukul Wang Shixian di perempat final Piala Sudirman lalu.
Sungguh ironis, di saat kekuatan dunia mulai merata, Indonesia yang memiliki tradisi dan salah satu negara kuat dalam bulutangkis dunia justru seperti jalan di tempat. Sekarang kita menyaksikan, Indonesia seperti biasa-biasa saja, seolah sejajar kekuatannya dengan negara yang baru berkembang seperti Thailand, India, Taiwan, dan Jerman serta sangat sulit menandingi kekuatan China, bahkan Malaysia dan Korea. Malaysia yang dulu tidak memiliki pemain putri, kini seimbang kekuatannya dengan putri-putri Indonesia. Di nomor ganda putra dan campuran memang kita masih punya taji, namun itu tak cukup kuat karena kurang memiliki pelapis untuk level bawahnya, sehingga kita kesulitan menentukan susunan tim terbaik kala menghadapi turnamen beregu seperti Thomas, Uber, dan Sudirman. Namun ada hal menggembirakan ketika kita menyaksikan mereka bertanding di piala Sudirman kemarin, semangat yang mereka tunjukkan seakan menjawab keraguan kita yang begitu mengharapkan kemenangan. Setelah mundurnya beberapa pemain utama seperti Taufik Hidayat, Liliyana Natsir, dan Markis Kido karena cedera, para pemain pelapis seperti ingin menjawab kepercayaan yang diberikan. Terutama pada sektor ganda (putra, putri, dan campuran). Meski susah payah, mereka berhasil menapak semifinal, mempertahankan tradisi prestasi minimal kita di Sudirman. Pasangan campuran peringkat 12 dunia, Frans Kurniawan/Pia Zebadiah menjadi penentu kemenangan Indonesia kontra Malaysia dalam perebutan posisi juara grup B setelah kedudukan sama kuat 2-2. Frans/Pia menumbangkan Peng Soon Chan/Liu Ying Gioh dalam dua set. Di perempat final kembali Frans/Pia menetukan kemenangan, usai Jepang dan Indonesia berbagi angka 2-2. Frans/Pia unggul atas pasangan Ikeda/Shiota dalam pertarungan ketat tiga set 21-19, 23-25, 21-14. Sebenarnya kemampuan teknis para pemain Indonesia tidak kalah dari para pesaing, juga tidak kalah dari para senior angkatan Alan, Susy, dkk., namun yang perlu lebih keras ditempa adalah motivasi dan mental apakah mereka ingin menjadi bintang, tidak semestinya mereka kalah sebelum bertanding, bahkan dari para pemain China sekalipun.
Lemahnya mental bertanding justru ditampakkan oleh dua pemain tunggal putra Indonesia, Simon Santoso dan Hayom Rumbaka, disaat harapan akan munculnya pengganti Taufik Hidayat, mereka malah menampilkan permainan yang seolah menunjukkan ketidak sanggupan menanggung beban, kehilangan motivasi, sehingga kualitas teknis permainan yang dimiliki menjadi tidak terlihat. Hayom bermain tampak sangat tertekan saat menghadapi Lee Chong Wei, pemain nomor 1 dunia asal Malaysia. Hal yang sama terjadi pada Simon ketika berhadapan dengan Kenichi Tago (Jepang). Simon terlihat menanggung beban yang amat berat hingga bermain buruk. Acungan jempol harus kita alamatkan kepada Adriyanti Firdasari, meski ia kalah kualitas dari beberapa lawannya, namun semangat pantang menyerahnya sungguh luar biasa, sehingga kualitas permainan pun tampak meningkat. Firda sadar, kalau dialah satu-satunya pemain tunggal putri yang diharapkan jutaan pecinta bulutangkis tanah air setelah era Susy Susanti berakhir, Mia Audina hengkang ke Belanda, dan Maria Kristin yang berkutat cedera. Di tengah minimnya bibit potensial di sektor putri, Firda-lah yang menjadi tumpuan, terutama dalam kejuaraan-kejuaraan beregu.
Bisa disimpulkan selain kemampuan teknis yang tetap harus ditingkatkan, segi mental pun amat berpengaruh dan mesti diperbaiki lagi dengan sesi latihan yang membutuhkan kekuatan mental baja dalam bertanding. Pencarian pemain muda potensial ke daerah-daerah pun perlu dilakukan, jika perlu, para pengurus PBSI turun ke kampung-kampung untuk mencari dan memantau potensi-potensi muda, kurikulum pendidikan Jasmani harus ditambah untuk cabang bulutangkis. Indonesia memiliki tradisi yang kuat di bulutangkis, kita punya kewajiban mempertahankannya di segala zaman, jangan sampai olahraga bulutangkis menjadi tidak dikenal di kemudian hari. 

Baca juga:
Raksasa China Kembali Rebut Sudirman

0 komentar:

Posting Komentar

Komentari walau dengan sedikit kata. Jika ingin menambahkan icon smiley, ketik karakter seperti yang tertera di samping kanan icon yang mewakili perasaan anda.

Artikel Popular

Arsip

detikcom

Peringkat Alexa